Senin, 28 Januari 2008

Mengejar Pelangi

“Kita sudah sampai Papau?”

“Belum, belum sampai.”

Rumput-rumput basah menempel di lengan saat aku melintasi padang rumput liar setinggi bahuku sambil mengikuti jalan setapak yang dilalui sepasang sepatu bot kulit yang besar.

“Kita sudah sampai Papau?”

“Sebentar lagi. Kamu capek Lora?”

“Tidak.” Dengan hati-hati kukibaskan seekor kutu dari sweater merah mudaku dan sepotong ranting kecil di rambutku.”Lora bisa jalan sepanjang hari.”

Sebenarnya aku lelah setengah mati. Lelah dengan rumput-rumput liar, lebah-lebah yang berdengung menyanyikan lagu di sekeliling kepalaku, dengan bukit-bukit yang harus didaki, dengan segala hal yang dibenci kebanyakan anak umur lima tahun seperti aku. Namun, aku tak pernah lelah berjalan dengan kakekku yang biasa kupanggil Papau, karena aku mengasihinya. Aku mencoba memandangnya, namun sorotan matahari pagi serasa membutakan mataku.

“Kita sudah sampai Papau?” rengekanku melengking tinggi.

“Kenapa Lora, Papau pikir kamu senang berjalan dengan Papaumu?” Wajahnya yang kecoklatan menahan tawa dan matanya yang biru tersenyum.

“Lora senang, tapi…,” aku jatuh ke tanah yang lembek dan mulai menangis.

“Tapi Lora mau pulang…. Lora mau nonton film kartun… Lora mau Ibuuu.” Air mata mengalir di wajahku.

Papau memandang cucu perempuannya yang tampak kotor berbaring di rerumputan, sedang menangis dan dengan marah berusaha mengusir lalat. Ia tertawa. “Baiklah, baiklah, kamu menang gadis kecil.” Ia berlutut dan menggendongku sambil menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. “Rumah kita disana Lora.”

Aku menangis keras-keras di bahunya ketika kami berjalan melintasi rumput-rumput liar. Namun, tiba-tiba ia berhenti, dan aku mendengarnya menghela napas.

“Lihat kesana, Lora!” Ia melirikku lewat bahunya dan menunjuk ke arah lembah.

Aku membalikkan tubuh sambil masih terisak-isak. “Lora belum pernah melihatnya sedekat ini.”

“Sesuatu yang baru kan, Lora?”

Di antara kumpulan awan berwarna kelabu, tampak sebuah busur pelangi yang begitu indah, dan seolah muncul dari dasar lembah. Aku terpesona. Tentu saja aku sudah pernah melihat pelangi, tetapi belum pernah sedekat ini. Aku menggapai-gapai-nya seolah tanganku dapat meraih lengkungannya yang gemerlapan itu dan mengambilnya sepotong. Aku ingin cepat-cepat turun dari gendongan Papau, menjatuhkan topinya, dan hampir menariknya jatuh ke tanah.

“Wah, apa yang kaulakukan, gadis kecil?” Ia kembali memakai topinya dan tertawa melihat keceriaanku.

Aku melompat dan berputar-putar membuat lingkaran yang memusingkan. “Lora ingin mengambil pelangi itu, Papau… Lora ingin menyentuhnya.”

“Benarkah?”

“Ya! Ya!” Aku berlari menuruni bukit, dengan terhuyung-huyung, pusing, dan kehabisan napas ketika berpikir dapat membawa pulang pelangi itu. Aku bergulingan diantara rumput-rumput liar, jatuh ke dalam kubangan lumpur, dan tergores semak berduri manakala aku dapat membujuk ibu supaya aku boleh menyimpan pelangi itu.

Aku berlari semakin cepat dan memekik setiap kali pelangi itu tampak dapat diraih. Namun, ketika jantungku telah berdebar keras dan paru-paruku terasa sesak, aku sadar pelangi itu menghindariku. Berkas cahaya yang halus itu melayang ringan ke seberang lembah, tepat di depanku. Aku mengejar pelangi itu, mengejar sesuatu yang tak diperuntukkan bagiku.

Aku pun berhenti berlari dan mengibaskan rambut ikal hitam yang menutupi wajahku yang merah, lalu menoleh untuk melihat apakah Papau mengikutiku.

“Pelanginya sudah pergi Papau.” Mulutku mulai bergetar dan tenggorokanku tersekat oleh tangis.

“Papau tahu, tapi pelangi itu tidak hilang, ia hanya pindah ke sisi yang lain.” Ucap Papau menghiburku.

“Lora ingin menyimpannya…” aku melihat Papau dengan penuh kesedihan.

“Pelangi itu milik orang lain, Lora,” katanya sambil menurunkanku dengan lembut ke tanah.

“Menurut Papau begitu?” Aku menarik pakaian kerjanya supaya ia memandang ke bawah.

“Papau yakin, gadis kecil.” Ia tersenyum dan menggandeng tanganku, kemudian kami menuju desa kecil di dasar lembah.

Karena merasa lebih baik, aku mulai melangkah dengan gembira. Kami hampir tiba di rumah sewaktu aku menoleh sekali lagi, memandang pelangi yang mulai memudar bila dilihat dari lembah. Setelah itu, aku berbalik “Mungkin ada orang lain yang lebih memerlukannya, Papau” kataku kepada Papau.

Aku berpikir sebentar. “Yah, mungkin ada orang lain yang lebih memerlukannya.”

Kumpulan kisah-kisah.

Taken from: “Mengejar Pelangi”

Kompilator: Alice Gray.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
The Spirit in Hope........ - Dearia - Free Blogger Templates - by Templates para novo blogger